JAKARTA | jejakhukum.net – Dengan berdalih demi penataan kawasan wisatanya, akan tetapi faktanya oknum-oknum pengelola justru malah mau ambil bagian juga. Hal ini diketahui dengan manjadi supllier barang-barang dagangan para pedagang di kawasan wisata Ancol Taman Impian. Terindikasi dengan sistem seolah secara paksa/wajib mengambil ke ‘mereka’ (pihak pengelola) dengan nama merchindes sebagai nama cokong-nyalah ?
Hal ini dikatakan warga Asli Pribumi yang tidak mau disebutkan namanya, berdomisili disekitar kawasan wisata Ancol. Dirinya bersama beberapa anggota ormas Forum Betawi Rembug (FBR) Koordinator Wilayah Jakarta Utara (Jakut) melakukan konvoi dan pemasangan bendera di beberapa titik akses masuk destinasi kawasan wisata Taman Impian Jaya Ancol yang terletak di Jalan Lodan Timur Nomor 7, Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta pada, Kamis (26/09/2024)
“Kalau soal urusan pedagang kaki lima saja, oknum di jajaran pejabat tinggi manajemen Ancol masih saja ingin mengambil bagian, apa mereka masih kurang dengan gaji, tunjangan, dan adanya dugaan proyek-proyek sampingan yang sudah mereka dapatkan? Hal ini mengundang pertanyaan besar mengenai seberapa besar kepedulian mereka terhadap masyarakat kecil yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan serta program-program menejemen Ancol,” tuturnya.
Dalam pemaparannya, dijelaskan bahwa perusahaan BUMD (Badan Usaha Milik Negara) seperti Ancol ini berada dan berdiri di kawasan lahan tanah kelahiran masyarakat pribumi, putra asli daerah, yang sudah sejak lama berharap bisa mendapatkan manfaat dari keberadaan perusahaan besar di kampungnya sendiri. Ironisnya, dalam kenyataannya, justru masyarakat sekitar sering kali hanya menjadi penonton, sementara keuntungan besar mengalir kepada mereka yang berada di atas, yang seharusnya sudah memiliki banyak sumber penghasilan dan pendapatan hidup.
“Maka, wajar jika masyarakat pribumi mulai bertanya-tanya, “Dari keberadaan perusahaan BUMD di kampung kami ini, apa yang sebenarnya kami dapatkan? Padahal, seharusnya perusahaan seperti ini bisa menjadi penopang bagi kesejahteraan lokal, memberikan kesempatan kerja yang adil, serta memberdayakan masyarakat kecil agar mereka bisa merasakan manfaat nyata dari pembangunan ekonomi di daerahnya,” imbuhnya.
Namun, yang terlihat sekarang justru sebaliknya. Kebijakan yang ada seolah hanya menguntungkan segelintir orang (para oknum), sementara rakyat kecil yang berdagang dan mencari nafkah di kawasan ini malah dipersulit dengan berbagai aturan yang tidak memihak kepada mereka. Bukannya diberi ruang untuk berkembang, mereka malah terancam kehilangan kesempatan untuk menjalankan usahanya demi hidup layak di tanah kelahirannya sendiri.
Ini adalah merupakan cermin ketidakadilan yang harus diubah, di mana kepentingan rakyat kecil seharusnya menjadi prioritas dalam setiap kebijakan yang diambil. Terlebih lagi, perusahaan BUMD seperti Ancol seharusnya menjadi motor penggerak kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya, bukan justru meminggirkan mereka (warga yang malah dimarginalkan).
Untuk menjadi atensi, bahwa kepentingan rakyat pribumi dan putra daerah apalagi masyarakat kecil warga yang bertempat tinggal disekitaran kawasan wisata Ancol sudah sepatutnya harus diperhatikan, karena merekalah yang sejatinya menjadi pemilik tanah ini (kawasan wisata) tersebut.(*/dok-ist/hms-fbr/biro-jakut/@Red)