Karawang, JEJAKHUKUM.net — Aroma busuk dugaan penyelewengan Dana Desa kembali tercium, kali ini di Desa Mekarsari, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang. Lembaga Investigasi Negara (LIN) menemukan indikasi kuat penggelapan anggaran pada program Ketahanan Pangan dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang bersumber dari Dana Desa Tahun Anggaran 2023.
Ketika tim investigasi LIN mendatangi kantor desa dan bertemu Sekretaris Desa (Sekdes), jawaban yang didapat sungguh mengejutkan. “Ketahanan pangan itu tidak ada,” ucap Sekdes.
Padahal, berdasarkan data resmi operator desa yang tercatat dalam aplikasi Siskeudes dan dilaporkan ke Kementerian Keuangan, program Ketahanan Pangan jelas ada dengan anggaran Rp20 juta.
Sekjen LIN, Fadhil, mengungkap bahwa pihaknya telah berupaya mengkonfirmasi langsung kepada Kepala Desa melalui WhatsApp, namun tidak mendapat tanggapan. “Kepala Desa tidak ada di kantor, kami diarahkan Sekdes ke rumahnya, tapi di sana pun tidak ada,” ujarnya.
Di kediaman kepala desa, tim justru bertemu Ketua PKK yang tak lain adalah istri Kepala Desa. Dari hasil penelusuran, dugaan penggelapan ternyata tidak berhenti di program ketahanan pangan. Ketua PKK mengaku, untuk program PMT bagi bayi dan ibu hamil, dirinya hanya menerima Rp20 juta selama 2023. Padahal, data Siskeudes yang dilaporkan ke Kementerian Keuangan menunjukkan anggaran Rp 60 juta.
“Ini kejanggalan serius. Program PMT vital untuk pemenuhan gizi dan vitamin ibu hamil dan bayi. Kalau anggarannya dikurangi, sama saja mengorbankan kesehatan masyarakat demi keuntungan pribadi,” tegas Fadhil.
Selain itu, dugaan pelanggaran juga menyeret program Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Ketua BUMDes diketahui adalah adik kandung Kepala Desa. Usaha BUMDes Mekarsari bergerak di bidang penyaluran pupuk dengan anggaran Rp 77 juta, yang memicu dugaan monopoli usaha.
Padahal, sesuai UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BUMDes harus dikelola secara profesional, terbuka, dan tunduk pada prinsip persaingan usaha yang sehat. Praktik monopoli, apalagi yang melibatkan keluarga kepala desa, jelas merugikan masyarakat dan melanggar hukum.
“Ini bukan hanya soal jumlah nominal. Walaupun ada yang bilang anggarannya kecil, itu tetap uang negara dan hak rakyat. Satu rupiah pun harus dipertanggungjawabkan,” tutup Fadhil.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi aparat penegak hukum untuk segera turun tangan. LIN tentunya menunggu tindakan tegas agar dana desa benar-benar kembali pada tujuan utamanya: membangun dan menyejahterakan warga. (Red)