Pontianak, Jejakhukum.net – Proses Seleksi Penerimaan Calon Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kalimantan Barat diduga melanggar Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 800.1.2.2-1095 Tahun 2024. Keputusan ini mengatur secara rinci mengenai Pedoman Seleksi Penerimaan Calon Praja (SPCP) IPDN Tahun 2024, termasuk dalam hal penentuan kelulusan akhir.
Berdasarkan poin D dalam keputusan tersebut, penentuan kelulusan akhir calon praja IPDN harus dilakukan melalui rapat pleno dengan tahapan sebagai berikut:
1) Menentukan peringkat kelulusan daerah sesuai kuota;
2) Menentukan peringkat kelulusan akhir untuk memenuhi kuota afirmasi nasional;
3) Menentukan peringkat nasional untuk mengidentifikasi kemampuan dan pengembangan pendidikan calon praja.
Keputusan tersebut jelas tidak menyebutkan adanya pengaturan terkait kuota gender, namun dalam rapat pleno seleksi IPDN Kalbar, muncul klaim bahwa pergeseran peringkat calon praja didasarkan pada kuota gender. Hal ini dianggap melanggar aturan resmi yang ditetapkan oleh Kemendagri.
Kasus ini mencuat setelah adanya kejanggalan dalam pergeseran peringkat antara M. Malik Sentosa Rivai dan Sri Aulia Maharani. Malik, yang berada di peringkat 17 dengan nilai yang memenuhi syarat, justru digeser oleh Aulia yang berada di peringkat 20. Aulia diketahui memiliki latar belakang sebagai putri dari AKBP Jamhuri, yang diisukan sebagai ketua pelaksana seleksi tes IPDN.
Orang tua Malik, H. Hendri Rivai, mengungkapkan ketidakpuasannya setelah menghadiri undangan dari Karo SDM Polda Kalbar, Kombes Sugiarto, pada 6 September 2024. Dalam pertemuan tersebut, Sugiarto mengonfirmasi bahwa nilai Malik sudah sesuai dengan berkas resmi yang ada di Polda Kalbar dan valid. Namun, kehadiran AKBP Jamhuri yang disebut-sebut sebagai bagian dari panitia seleksi semakin menimbulkan kecurigaan, meskipun nama Jamhuri tidak terdaftar secara resmi sebagai anggota panitia seleksi.
AKBP Jamhuri dilaporkan sering hadir dan bebas bergerak di tempat berlangsungnya tes seleksi, meskipun dia tidak memiliki sprint atau kewenangan sebagai panitia. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan integritas dalam proses seleksi.
Kasus ini memicu kekhawatiran tentang kemungkinan adanya campur tangan pihak yang tidak berwenang dalam menentukan hasil seleksi calon praja IPDN. Orang tua korban juga telah melaporkan kasus ini ke Ombudsman dan instansi terkait untuk mencari keadilan. Mereka berharap proses seleksi dapat berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Kemendagri dan bebas dari unsur kecurangan.
Proses seleksi yang adil dan transparan menjadi harapan semua pihak, terutama bagi para peserta yang telah berusaha keras melalui serangkaian tes. Keberpihakan terhadap integritas seleksi sangat diperlukan untuk menjaga kredibilitas IPDN sebagai lembaga pendidikan calon pemimpin bangsa.
Kasus ini akan terus diusut untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan dalam proses seleksi penerimaan calon praja IPDN Kalimantan Barat.
(Red)