LEBAK | jejakhukum.net – Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lebak, Provinsi Banten mesti melakukan tindakan tegas terhadap adanya indikasi praktek pungutan liar (Pungli) demi meraup keuntungan pribadi dalam sektor industri pariwisata di kawasan destinasi wisata Lebak Selatan yang semakin hari semakin menjadi-jadi seperti jamur yang bertumbuhan di musim penghujan.
Kegiatan pungli tersebut, seperti halnya yang dialami para wisatawan yang berasal dari Kampung Sukajaya Desa Bayah Timur saat hendak berkunjung ke Kawasan wisata Pantai yang ada di daerah Lebak Selatan saat moment liburan Lebaran tahun 2024 pada hari Senin 15 April 2024, kemarin.
Lihat Berita terkait Sebelumnya :
Sebut saja Ibu Lomrah, dirinya mengungkapkan keluhannya kepada para awak media, dirinya mengaku merasa keberatan dengan besaran biaya tiket masuk pada kawasan destinasi wisata pantai Karang Taraje Desa Darmasari Kecamatan Bayah, dimana dalam besaran biaya yang tertulis dalam tiket retribusi tercantum sebesar Rp 5.000 per orang, namun dirinya yang berjumlah tiga motor telah dimintai uang sebesar Rp. 50.000 oleh oknum petugas pengelola kawasan wisata pantai tersebut.
“Kami rombongan berjumlah tiga motor, namun kami mintai uang sebesar Rp 50.000. Tentu dengan biaya yang dipatok terhadap serta tidak sesuai dengan yang tertera di karcis, kami sangat keberatan dengan ketentuan yang di berlakukan pengelola Karang Taraje, jangan aji mumpung. Kasihan masyarakat karena tidak semuanya mampu. Apa lagi dengan fasilitas yang seadanya, bahkan kalau tidak ada pedagang atau warung, kami rasa tidak ada apa-apanya. Kami rasa apabila ini di biarkan, akan membawa citra yang kurang baik, untuk wisata yang ada di Kecamatan Bayah,” keluh Romlah (nama disamarkan) sambil memperlihatkan karcis tiket masuknya saat menikmati liburan Idul Fitri 1445 Hijriyah.
Hal ini telah mendapatkan tanggapan serius dari Praktisi Hukum Ena Suharna, S.H., selaku Advokat Peradi yang sekaligus juga merupakan Penasihat Hukum Lembaga Pemantau Korupsi Banten (KPKB) dalam keterangan resmi-nya pada, Selasa (16/04/2024).
Diungkapkan oleh Ena, bahwa maraknya dugaan praktik pungli sering kali terjadi dibeberapa kawasan destinasi wisata di Lebak Selatan ini, saat menjelang liburan pasca hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan tahun baru.
“Ini sangat miris sekali, melihat maraknya praktik dugaan pungli di beberapa kawasan wisata di daerah Lebak Selatan, terlebih para terduga pelaku melakukan aksi pungli ini dengan berbagai modus operandi seperti memaksa para pengunjung wisatawan untuk membayar tiket masuk dengan dalih biaya retribusi daerah dan membayar uang parkir untuk kendaraan roda dua dan roda empat patut diduga dengan tidak sewajarnya,” tutur Ena.
Menurut Ena, untuk biaya retribusinya sendiri memang sangat bervariatif ada yang senilai 5.000 rupiah/per- orang hingga mencapai 10.000 rupiah/per-orang dan atau untuk kendaraan yang masuk mencapai Rp. 20.000/per-unit mobil bus bahkan bisa lebih, atau dihitung berdasarkan kendaraan.
“Tentu praktek pungli ini sangat merugikan banyak pihak selain merugikan para wisatawan yang berkunjung, praktik pungli ini juga merugikan keuangan negara pada aspek penerimaan. sebab pengelolaan uang dari hasil objek wisata ini merupakan salah satu income kas daerah (APBD) Kabupaten Lebak, Provinsi Banten,” ungkap Ena.
Lanjut Ena, Jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dimana dalam UU tersebut dijelaskan secara lugas dan tegas dalam pasal 20 huruf a, b, c, d, e dan f.
“Pasal yang menjelaskan dimana setiap wisatawan berhak memperoleh, informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata, pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar, perlindungan hukum dan keamnan, pelayanan Kesehatan, perlindungan hak pribadi dan perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang beresiko tinggi,” ujarnya.
“Nah kan Undang-Undang mengatakan demikian sedangkan para wisatawan tidak dapat pelayanan dan tidak mendapatkan fasilitas yang memadai, seperti contohnya saat para wisatawan dimintai membayar tiket retribusi dan uang parkir. Dimana dalam selembaran karcis tersebut tertera tulisan “Segala bentuk kehilangan diluar tanggungjawab pengelola”. Dan aja juga yang bertuliskan “Setiap kerusakan atau kehilangan kendaraan atau barang yang di parkir adalah resiko pemilik sendiri. Tentu hal ini sangatlah tidak patut,” tegasnya.
Belum lagi ditambah terkait insiden adanya seorang wisatawan asal Jakarta yang tewas terseret ombak saat berlibur di Pantai Ciantir, Sawarna, Kecamatan Bayah yang terjadi sekira pukul 13.00 WIB pada hari Sabtu, 13 April 2024. Ini kan juga harus jelas mengenai perlindungan asuransinya,” paparnya.
Sedangkan didalam Undang-Undang, sambung Ena, Kepariwisataan ini bahwa wisatawan berhak mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan. Artinya pengelolaan destinasi wisata di lebak selatan ini tidak beres, diduga ada yang legal tetapi asuransinya tidak jelas, kemudian diduga ada pula yang destinasi wisatanya memang ilegal.
“Akan tetapi jika dalam konteks fasilitas parkir kami menduga kuat hampir kebyakannya ilegal. Sehingga disinilah muncul potensi Tindak Pidana Korupsi dan Pungli, sebab seharusnya pihak pengelola wisata senantiasa memberikan pelayanan secara maksimal kepada para pengunjung sebagai timbal balik dari biaya yang telah dikeluarkan para wisatawan,” terangnya lagi.
“Kami minta kepada pemerintah kabupaten lebak agar segera menertibkan industri wisata dan parkir illegal di lebak selatan ini untuk dilakukan audit internal oleh inspektorat atas dugaan korupsi, kolusi dan atau pungli sebab tak hanya merugikan para pengunjung tetapi juga Negara,” imbuhnya.
Dalam Aspek Hukum
Pada prinsipnya, dalam industri pariwisata sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, bahwa Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
Kemudian dalam pandangan hukumnya kata Ena, Meskipun industri pariwisata ini dinilai efektiv yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan cepat menyediakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan penghasilan masyarakat serta peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), akan tetapi secara aspek hukum ada hal yang harus diperhatikan mengenai tata kelola dan regulasi yang harus ditempuh secara legal agar tidak menjadi keuntungan pribadi dan atau kelompok para oknum korup dan atau pungli selaku yang mengelola destinasi itu sendiri.
“Artinya dalam hal ini ada dua Aspek Hukum, yakni secara Hukum keperdataan dan Hukum pidana. Pertama dalam Aspek Hukum Perdata, sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 9 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan ini berkaitan dengan produk barang dan atau jasa yakni berkaitan dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Perlindungan Konsumen, dimana didalam Pasal 7 menjelaskan tentang Kewajiban pelaku usaha, sedangkan dalam Pasal 8, 9 dan Pasal 10 menjelaskan tentang Perbuatan Yang di Larangan Bagi Pelaku Usaha. Sehingga wisatawan ini kedudukannya sebagai Konsumen yang membeli Barang/jasa si Pelaku Usaha Industri Wisata,” papar Ena.
“Kedua, jika dilihat dalam perspektif dari berbagai diskusi akdemik, yang mempormulasikan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum materielmateriel (Materiele wederrechtelijheid) yang sejak semula cenderung dianggap bersinggungan dengan asas legalitas sebagai suatu asas fundamental dan ‘soko gurunya’,” ucap Ena.
Hukum Pidana, yakni ada 4 (empat) kategori tindak pidana korupsi sebagai konsep yuridis yaitu, Suap-menyuap (Bribery), Pemerasan (Extention), Penipuan/penggelapan (fraud) dan Nepotisme (Nepotisem). Dimana sebagai dasar hukum kategori ini pengaturannya pada Undang-Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Junto Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara Negara Yang Bebas Kolusi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Kemudian pada Konteks pungutan liar (Pungli) bahwa sebagian besar norma hukum pemerintahan berdasarkan Hukum Administrasi diakhiri “In cauda venenum”, yang secara harfiah dapat diartikan “Ada racun ekor/buntut dalam setiap tindakan kebijakan”. Sehingga dalam hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi ini bahwa konsep wewenang adalah dua aspek hukum yang berkaitan. Dimana tautan Hukum Administrasi berada diantara hukum perdata dan pidana yang disebut “Hukum Antara”.
Ena juga menilai, dalam konteks ini dapat dipandang bahwa pungli pada Industri Pariwisata bersumber dari kebijakan penyelenggara negara yang melakukan Penyalahgunaan wewenang Jabatan dalam mencapai tujuannya untuk mendapat suatu keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan cara melawan hukum yang perbuatan ini tidak hanya dilakukan secara sendiri, melainkan secara bersama-sama melalui kolusi dan nepotisme pada garis kebijakan koordinasi antar pihak maupun antar pejabat.
Jadi dapat diasumsikan jika Pemda Lebak tidak segera melakukan tindakan cepat atau melakukan pembiaran terhadap para pelaku pungli pada industri pariwisata ilegal di Lebak Selatan, maka patut diduga ada sebuah konspirasi besar dalam melakukan perbuatan melawan hukum ini.
“Saya sebagai putra daerah asli Lebak Selatan, ingin melakukan perubahan besar terhadap tata kelola kawasan pariwisata yang ada di Lebak Selatan, Kabupaten Lebak Provinsi Banten ini menjadi azas manfaat yang baik berdasarkan regulasi hukum yang berlaku guna menjamin kepastian hukum terhadap semua pihak agar tidak ada lagi kesempatan bagi para oknum yang memanfaatkan kesempatan ini dari keberlangsungan masa depan Lebak Selatan,” tandasnya.(*/dok-ist./hms-kpkb/red/@SZ)