Aksi Damai Alwanmi dengan Pita dan Masker Hitam, PN Bekasi Akhirnya Bebaskan Gunata Prajaya dan Wahab Halim

KOTA BEKASI | jejakhukum.net – Puluhan wartawan dari berbagai media dengan dikomandoi Aliansi Wartawan Non Mainstream Indonesia (Alwanmi) serta 60 orang dari Alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Vincentius Jakarta menggelar Aksi Unjuk Rasa damai di Halaman depan gedung PN Bekasi kelas 1a Khusus, yang terletak di Jalan Pangeran Jayakarta, Harapanmulya, Kecamatan Medansatria Kota Bekasi pada, Rabu (17/04/24) pagi.

Aksi Demonstrasi para awak media tersebut menuntut rasa keadilan seseorang yang dianggap tak bersalah menjadi pesakitan untuk segera dibebaskannya. Kegiatan yang mengudang perhatian pengunjung sidang dan warga sekitar itu dimulai selira pukul 09.30 WIB dengan kawalan puluhan personel Kepolisian dari Polsek Medansatria, Polres Metro Bekasi Kota.

Ketua Alwanmi, Arief P. Suwendi (kanan) usai membacakan 14 Fakta Hukum atas Prajaya Halim dan Wahab Halim, tampak melakukan doorstop dengan para rekan-rekan (awak) Media yang turut serta dalam memperjuangkan keadilan seprofesi.dok-istimewa/fwj.i/bks/@dpti.zark

Dalam aksi damai tersebut sang orator yang merupakan Ketua Alwanmi, Arief P. Suwendi membacakan 14 Fakta Hukum atas Prajaya Halim dan Wahab Halim. Bahwa dalam kesempatan tersebut disebutkan; pertama (1) Penahanan phisik terhadap Gunata Prajaya Halim (52) dan Penetapan Penahanan Kota terhadap ayahnya Wahab Halim (85) oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi adalah tindakan yang tidak berdasar dan tidak beralasan.

“Tentu hal ini dinilai sebagai tindakan pengangkangan terhadap butir ke-dua (2) Pancasila yang berbunyi; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Kerena phisik tanah yang dituduhkan oleh terlapor (inisial KP) sebagai ‘Tumpang-Tindih (Overlapping) itu adalah Surat Otentik atau Sertipikat masing – masing pemilik.

Dan bahwa dalam hal ini, lanjut Arief, diketahui pembeli selaku pemilik yang telah memiliki surat sah (SHM), baik Gunata Prajaya Halim maupun Wahab Halim, tidak membangun Batas-batas permanen atas tanah milik mereka. “Tidak mendirikan bangunan permanen untuk dimanfaatkan sebagai tempat Usaha permanen, dan tidak menggali tanah itu untuk digunakan sebagai urugan atau dijual,” ungkap Arief.

Point-point berikutnya dibacakan, (2). Dengan demikian, phisik atas tanah bersebelahan itu tidak ada yang dicuri maupun dijual untuk memperoleh keuntungan oleh Gunata Prajaya Halim Maupun Wahab Halim, sehingga tidak ada dasar aparat kepolisian untuk memerintahkan Juru Ukur BPN melakukan pengukuran Ulang. Selanjutnya, (3). Bidang tanah yang dipersengkatan ini tidak dapat dikatakan tumpang tindih (Overlapping). Karena diseluruh belahan bumi ini, tidak ada dan belum pernah ditemukan, ada tanah yang tumpang tindih, selain akibat longsor dan atau terjadi pengurugan yang dilakukan orang terhadap tanah lainnya.

Bahwa (4). Istilah Overlapping hanya ada di dalam administrasi ketata-usahaan atau Akta atau Surat Identitas sebidang tanah yang di Indonesia dikenal dengan nama Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (SHPL). Maka, (5). Untuk membuktikan terjadinya Overlapping atau tumpang tindih Surat Kepemilikan suatu tanah, pihak-pihak bersengketa harus mengundang Juru Ukur ATR/BPN atau Kantor Pertanahan setempat dengan disaksikan oleh kedua belah pihak [yang] bersengketa, Pemilik Asal suatu tanah (penjual), dan saksi-saksi masing -masing pihak atau pihak yang dihadirkan dalam pengukuran ketika penerbitan sebuah sertifikat dimohonkan.

Selanjutnya, (6). Kehadiran pihak Kepolisian diperlukan berada di lokasi saat pengukuran untuk pembuktian ada/tidaknya overlapping, dan untuk menghindari dan mengantisipasi terjadinya bentrok phisik, karena Kepolisian tidak memiliki wewenang membuat surat tanah. Kemudian (7). Jika terjadi perselisihan setelah pihak pertanahan menyatakan terjadi overlapping atas surat tanah, dan tidak terjadi musyawarah untuk mufakat dari kedua belah pihak bersengketa, persoalan dan kasus ini harus diperkarakan di pengadilan Perdata untuk menguji dasar-dasar dokumen yang dipersengketakan, dan pihak yang merasa kehilangan atas surat yang ‘tumpang-tindih (overlapping)’ dapat menggugat pejabat Tata Usaha Negara di pengadilan TUN, bukan di pengadilan Militer maupun pengadilan Agama. Karena produk (surat yang tumpang-tindih itu) merupakan produk pejabat Tata Usaha Negara (TUN).

Kemudian Arief juga menegaskan, bahwa (8). Penahanan phisik dan penahanan Kota terhadap Gunata Prajaya Halim dan Wahab halim tidak ada dasarnya. Tidak ada dasar kekhawatiran menghilangkan barang bukti karena barang bukti sifatnya otentik dan harus diusut di kantor Pertanahan (ATR/BPN).

“Dan saya nyatakan (9). Bahwa dalam kasus yang menjerat Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim, pasal-pasal yang dijadikan acuan sama-sekali tidak pas dan tidak cocok. Jika pasal 266 ayat (1) KUHP dan juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP menjadi dasar Tuntutan, maka pihak JPU Kejaksaan Negeri Kota Bekasi dinilai telah melakukan tindak Kesewenangan atas Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim alias tidak berperi-kemanusiaan dan tidak beradab, dan tidak mencerminkan amanat Sila Ke-2 Pancasila sebagaimana telah disampaikan diatas,” imbuhnya.

“Selain itu, (10). Hal lain yang menjadi pertanyaan kami, jika dokumen ayahnya SHM (Sertifikat Hak Milik) Nomor 2607 Atas/nama Wahab Halim disebut bermasalah, bagaimana bisa pihak Bank Mandiri menerima sebagai agunan kredit dengan pengikatan agunan senilai Rp.300 juta sejak tanggal 31 bulan Agustus tahun 2007 sampai sekarang yang diajukan oleh Wahab Halim, yang kemudian kredit agunan tersebut di bank berubah nama menjadi Gunata Prajaya Halim pada tahun 2016 dikarenakan Wahab Halim (ayah Gunata Prajaya Halim) sudah terlalu tua,” papar Arief.

Dan selanjutnya tambahan: Sebagai info, diketahui bahwa SHM Nomor 2607 Atas/nama Wahab Halim tersebut sebelumnya juga sudah pernah diagunkan ke Bank BNI sebesar Rp. 68 juta di tahun 1999 kemudian diagunkan kembali ke Bank Buana Indonesia tahun 2004 baru kemudian pindah ke Bank Mandiri sejak tahun 2007 sampai sekarang yang artinya SHM tersebut sudah di-AGUN-kan terus menerus sejak 1999 sampai sekarang. Hal ini tentu mengisyaratkan yang artinya SHM tersebut dinyatakan tidak bermasalah.

“Maka, (11). Untuk itu, kami, para jurnalis yang tergabung di dalam Aliansi Wartawan Non-Mainstream Indonesia (Alwanmi) berkewajiban turut memberi pencerdasan dalam mewujudkan keadilan kepada seluruh masyarakat dunia secara universal, seluruh masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui kasus ini,” ujar Arief lagi.

“Selain itu, (12). Kami menduga adanya kejanggalan terhadap proses, kronologis, histori dan penerapan Hukum yang dialami oleh Gunata Prajaya Halim dan ayahnya Wahab Halim tidak menjadi preseden buruk dimasa mendatang sekaligus pembuktian bahwa penegakan hukum adalah prioritas apalagi kini kasus ini telah menjadi perhatian masyarakat nasional bahkan internasional,” imbuhnya.

Seperti diketahui, (13). Dalam penjelasan pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Lebih lanjut, pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Dari kutipan diatas, lanjut Arief, tentu semua berharap hal ini tidak terjadi dalam kasus Gunata Prajaya Halim dan Ayahnya, Wahab Halim karena jangan kemudian ada anggapan publik jika kasus ini seolah ‘dipaksakan’. “Jadi bukankah kepemilikan SHM atas ke-dua (2) nama tersebut tercatat sejak tahun 1998, sedangkan gugatan awal terlapor dilakukan tahun 2007 dan gugatan akhir pada tahun 2020. Atau 9 tahun dan 22 tahun, bukankah ini sudah Kadaluarsa?,” beber Arief.

“Oleh sebab itu, (14). Atas semua hal diatas maka kami memohon dan menyampaikan kehendak kiranya Bapak Presiden Joko Widodo, Kepala Staf Presiden (KSP) RI, Menteri Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) RI, Jaksa Agung RI, Menteri ATR/BPN RI, termasuk Kajati Jawa Barat, Kejari Kota Bekasi, Ketua PN Kota Bekasi dan semua pihak yang terkait agar Gunata Prajaya Halim dan ayahnya (Wahab Halim), segera dinyatakan tidak bersalah dan harus bebas demi hukum yang berkeadilan,” ucap Arief.

“Maka dalam kesempatan ini, Kami menuntut agar Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim harus segera dibebaskan dari segala tuntutan dakwaan atau bebas murni,” pungkasnya.

Akhirnya bahwa berdasarkan informasi yang didapat, schedule seharusnya persidangan dengan agenda pledoi di PN Bekasi tersebut, Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim diketahui justru malah telah dibebaskan oleh pihak PN Bekasi Kelas 1a Khusus pada sore harinya.(*/dok-ist./hms-alwanmi/fwj.i/bks/@dpti. ZARK)

Tinggalkan Balasan