Beredarnya Buku LKS di SMPN 2 Telukjambe Timur, Ini Tanggapan Kepsek Suri Andana

Pendidikan953 Dilihat

Karawang, Jejakhukum.net – Larangan jual beli Lembar Kerja Siswa (LKS) di sekolah telah diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Pada Pasal 12 ayat (1) huruf b Permendikbud tersebut, ditegaskan bahwa komite sekolah dilarang untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, atau LKS kepada siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung. Aturan ini bertujuan untuk mencegah komersialisasi pendidikan dan memastikan setiap siswa mendapatkan kesempatan belajar yang setara tanpa beban biaya tambahan yang tidak perlu.

Namun, beredarnya buku LKS di SMPN 2 Telukjambe Timur menjadi sorotan. Kepala Sekolah SMPN 2 Telukjambe Timur, Suri Andana menyatakan bahwa pihak sekolah tidak terlibat dalam penjualan buku LKS, dan menyebut bahwa buku tersebut dibeli siswa dari toko tertentu, yakni toko AMPERA. “Buku LKS yang dibeli siswa bukan ada di kami, melainkan di toko AMPERA. Memang benar per semester siswa membeli buku LKS seharga 220 ribu, tapi bukan ke pihak sekolah,” jelasnya saat diwawancarai oleh Jejakhukum.net pada Senin (12/08).

“Memang benar per semester siswa membeli buku LKS dengan harga 220 ribu, tapi di toko AMPERA,” tutupnya.

Pernyataan ini menimbulkan kecurigaan, terutama karena pihak media tidak menyebutkan nama toko atau tempat pembelian LKS secara spesifik. Pengakuan Kepala Sekolah yang secara langsung menyebutkan toko AMPERA memunculkan dugaan adanya kerjasama terselubung antara pihak sekolah dengan toko tersebut, termasuk kemungkinan adanya komitmen fee.

Praktik semacam ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai penggunaan dana BOS yang seharusnya dialokasikan untuk pengadaan buku, administrasi kegiatan sekolah, perawatan, dan kebutuhan lainnya. Jika dana BOS telah tersedia, mengapa siswa masih dibebani untuk membeli buku LKS dari pihak luar? Dan bagaimana dengan ratusan juta rupiah yang terkumpul dari siswa untuk pembelian buku tersebut, apakah hal ini diperbolehkan?

Tanggapan atas kejadian ini pun muncul dari berbagai kalangan, termasuk dari Sekjen DPP Ormas BRIGADE UTAMA ADIPATI SINGA PERBANGSA (BUAS) Didi Holidi, S.H yang mempertanyakan mengapa praktik semacam ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun tanpa adanya tindakan tegas dari pihak berwenang.

Fenomena seperti ini sering kali diabaikan oleh pihak Dinas Pendidikan, yang seolah menutup mata dan telinga terhadap isu-isu semacam ini. Apakah hal seperti ini akan terus dibiarkan? Dana BOS, yang seharusnya menjadi penyelamat pendidikan, kini menjadi misteri yang perlu diungkap ke mana arahnya sebenarnya. (Red)