JAKARTA, JEJAKHUKUM.NET – Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan dilindungi oleh Undang-Undang. Jika ada siapapun yang mencoba berusaha untuk menghalangi, mengintimidasi bahkan jika ada atau segala bentuk pengancaman terhadap wartawan jelas dapat dijerat pidana. Selain itu, dapat dianggap sebagai upaya menghalangi tugas jurnalistik, dan artinya telah terjadi pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hal ini ditegaskan Ketua Forum Wartawan Jakarta (Jaya) Indonesia (FWJI) Koordinator Wilayah (Korwil) Jakarta Utara, Chaerul Syah Hasibuan. Pria energik yang sering disapa Opung ini juga menjelaskan, bahwa keberadaan pers di masyarakat mempunyai empat fungsi; yakni to entertain (menghibur), to inform (memberi informasi), to educate (mendidik) dan as gatekeepers (sebagai kontrol sosial).
Pers dikenal sebagai pilar keempat demokrasi karena fungsi kontrol sosialnya. Fungsi ini terjadi karena wartawan menyampaikan peristiwa yang membuat masyarakat tahu bagaimana tiga pilar demokrasi tersebut bekerja.
“Apa eksekutif, legislatif dan yudikatif ini dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang ada atau tidak, masyarakat menjadi tahu karena pers memberitakan. Inilah yang mengkontrol ketiga pilar tersebut bekerja dengan baik dan benar. Pers yang memberitahu ke publik dan publik yang akan menilainya,” kata Opung saat ditemui di Balai Kota Jakarta Utara pada, Sabtu (17/12/2022).
Oleh karenanya, menurut wartawan senior ini, dalam menjalankan tugasnya, kuli tinta dilindungi oleh Undang Undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999. Termasuk dengan pencarian informasi untuk dijadikan berita dan penyebarluasannya, secara obyektif, transparan, sesuai fakta dan pastinya berimbang (cover both side) selama memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku sesuai ketentuan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Pengancaman dapat dikategorikan sebagai perbuatan menghalang-halangi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Itu diatur dalam pasal 18 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sangat jelas itu dasar hukumnya,” ujar Opung.
Pandangan Ketua FWJ Jakarta Utara terkait berita adanya ‘Dugaan Perselingkuhan’ di Apartemen Puri Mas, Surabaya.
Menanggapi kabar adanya ancaman terhadap wartawan yang memberitakan dugaan perselingkuhan di Apartemen Puri Mas Surabaya tersebut, Opung mengaku prihatin. Pasalnya, pengancaman terhadap awak media seringkali terjadi karena masyarakat kurang faham akan sifat media massa. “Bahwa yang paling sering dipermasalahkan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan adalah cover both side (memberikan keterangan dari dua pihak),” tegas Opung.
“Kasus terjadi salah paham terkait cover both side, sering terjadi pada media online. Biasanya ada satu pihak yang merasa tidak dikonfirmasi sebelum sebuah berita telah ditayangkan,” ungkapnya.
Padahal, menurutnya, berdasarkan sifatnya, media online bersifat cepat. Karenanya, cover both side dalam media online diperbolehkan dilakukan pada berita selanjut dengan rubrik dan tulisan yang proporsional.
“Itu boleh. Menaikkan sebuah berita berdasarkan informasi yang diperoleh dengan konfirmasi ke salah satu pihak atau pihak terkait. Konfirmasi selanjutnya, dijadikan berita lain. Yang penting proporsional dan rubriknya sama. Ini yang masyarakat sering tidak tahu,” ungkapnya.
Alasan Wartawan Memberitakan Sebuah Peristiwa
Diakui Opung, pemberitaan terkait dugaan perselingkuhan di Apartemen Puri Mas Surabaya beberapa waktu lalu, wartawan tidak sedang menjalankan fungsi kontrol terhadap tiga pilar demokrasi. Namun ia mengingatkan, wartawan juga punya tugas untuk menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap norma masyarakat.
Selain itu, Opung juga percaya, wartawan yang meliput berita tersebut “mencium” sesuatu yang lebih besar dibalik peristiwa tersebut. Ia mengingatkan, wartawan punya hak prerogatif untuk memberitakan sesuatu dan mengambil angle (sudut pandang) tertentu atau edge (sisi lain), asalkan peristiwa yang akan diberitakan tersebut memang benar terjadi.
“Bahkan Pemimpin Redaksi pun hanya bisa mempertanyakan mengapa seorang wartawan menganggap berita tersebut layak dinaikkan. Jika alasannya reasonable, Pemred pasti setuju. Insting wartawan yang bekerja, berdasarkan pengalamannya di lapangan. Wartawan itu bisa mencium kok kalau ada sesuatu yang besar di balik suatu peristiwa,”tegasnya.
Ketua FWJ Jakarta Utara: Tidak Ada Yang Boleh Mengancam Wartawan, Lawan
Opung mengaku pernah berkomunikasi langsung dengan salah satu wartawan yang memberitakan kejadian tersebut. Ia juga mengaku sudah membaca beberapa berita berlanjut terkait peristiwa tersebut di salah satu media online. Bahkan, Opung juga mengaku sudah mendengarkan rekaman asli wawancaranya saat berdiskusi dengan wartawan tersebut.
Menurutnya, pada pemberitaan kedua, ada indikasi narasumber yang merasa dirugikan melakukan pengancaman kepada wartawan yang mengklarifikasi kejadian pada berita pertama. Ia pun mengutip beberapa statemen narasumber yang ada pada berita kedua.
Diantaranya statemen; “Sebutkan (nama lengkap TW-red), nanti saya tinggal gugat balik. Mas dari sumber yang salah loh”. Kemudian statemen “Kalau membuat berita, maaf, tanya dulu dari dua belah pihak. Kalau sudah sampean munculkan begini baru sampean klarifikasi. Coba kalian pikir sendiri. Kalian ini mau menangnya sendiri namanya seperti itu,”. Adalagi statemen “Saya tidak akan berikan klarifikasi. Boleh karang-karang sendiri lah, sesuka hati. Tunggu tanggal mainnya aja”.
“Kalimat itu seakan memberi pesan, silahkan buat berita, nanti Saya tuntut”. Itu yang naik di berita lho. Yang saya dengar dari rekamannya, pesannya lebih jelas lagi. Termasuk juga ada nada melecehkan wartawan. Saya yakin kalau mendengar rekaman aslinya, semua wartawan pasti tersinggung,” Cetus Chaerul Syah.
Kepada seluruh wartawan, Ketua FWJ Jakarta Utara ini berpesan untuk tidak menyerah terhadap pihak yang merasa dirugikan dan mencoba mengancam memejahijaukan atau melakukan tindakan kekerasan. Tetap melakukan kerja jurnalistik seperti biasa, jika dirasa kejadian tersebut masih punya nilai berita (news value).
Dirinya menambahkan, mendapatkan pengancaman bagi seorang wartawan adalah resiko profesi. Namun ia juga mengingatkan, jika ancaman tersebut dinilai merugikan dan ada indikasi direalisasikan dalam tindakan nyata, sebaiknya melapor ke aparat penegak hukum.
“Tidak ada yang boleh mengancam wartawan. Lawan. Caranya, terus lakukan kerja jurnalistik. Kalau sudah benar-benar merasa terancam, minta perlindungan hukum. Wartawan juga manusia. Tidak kebal hukum, tapi juga punya hak melapor ke polisi,” tutup Chaerul Syah Hasibuan dalam keterangannya.(*/dok-ist./hms-fwji/jakut/red/FAZZA)