Jakarta, JEJAKHUKUM.net – Sebuah warung sederhana yang berdiri di depan lokasi tempat pencetakan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) di kawasan Samsat Jakarta Pusat–Jakarta Utara, menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, keberadaan warung tersebut diduga tidak memiliki izin resmi, namun tetap beroperasi bebas di area yang seharusnya steril dari aktivitas komersial.
Warung yang menjual rokok, minuman kemasan, dan kopi itu telah berdiri lama dengan harga jualan terkesan di atas pasaran seperti salah satunya teh botol umumnya 5000 di warung tersebut dijual mencapai 10.000 per botol. Padahal, di area dalam kompleks Samsat sendiri sudah tersedia kantin resmi yang dikelola oleh koperasi, dengan fasilitas lengkap bagi petugas maupun pengunjung pajak. Ironisnya, warung resmi justru kalah ramai dari warung di depan TNKB yang diduga bebas beroperasi tanpa membayar listrik dan biaya lapak selama bertahun-tahun. Hal ini menimbulkan kecemburuan di kalangan pedagang resmi.
Ketika tim dari Jejakhukum.net dan patroli86.com berupaya mengonfirmasi legalitas usaha tersebut melalui pesan WhatsApp ke nomor yang diketahui milik pemilik warung, nomor wartawan justru diblokir tanpa alasan.
Sementara hasil pantauan di lapangan menunjukkan, di area sekitar lokasi terpampang papan peringatan “Dilarang Merokok”. Larangan ini bukan tanpa dasar, merujuk pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 40 Tahun 2020 tentang Kawasan Dilarang Merokok, yang menetapkan tujuh area bebas rokok, yakni:
1. Tempat umum
2. Tempat kerja
3. Tempat belajar mengajar
4. Tempat pelayanan kesehatan
5. Angkutan umum
6. Arena kegiatan anak-anak
7. Tempat ibadah
Namun, fakta di lapangan justru sebaliknya. Pengunjung tampak bebas merokok di sekitar warung tersebut, bahkan penjual turut menyediakan rokok secara terbuka.
Upaya konfirmasi kepada pihak Samsat melalui pesan singkat juga tidak mendapat respons. Petugas yang dihubungi enggan memberikan keterangan resmi terkait keberadaan warung yang berdiri di zona larangan tersebut.
Keberadaan warung ini menimbulkan pertanyaan publik: mengapa bisa bertahan lama tanpa tindakan? Apakah ada pihak tertentu yang membekingi, atau justru terjadi pembiaran dari instansi terkait?
Di area samsat juga padahal terpampang jelas plang peringatan dari Badan Pengelolaan Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta bertuliskan:
“Barang siapa merusak, memasuki, atau memanfaatkan tanah ini tanpa izin, diancam hukuman penjara/denda sesuai Pasal 167 jo 385 jo 389 jo 551 KUHP.”
Dari hasil penelusuran lapangan, pemilik warung tersebut di duga suka menjadi calo selain itu diduga tidak memiliki izin usaha yang jelas, warung tersebut juga diduga belum mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan bahkan melanggar ketentuan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Provinsi DKI Jakarta. Lokasi tempat berdirinya warung itu termasuk dalam zona pelayanan publik yang seharusnya bebas dari aktivitas perdagangan liar.
Menurut informasi yang dihimpun patroli86.com, sejak Januari 2025 seharusnya warung tersebut sudah dipindahkan ke kantin resmi, sebagaimana diungkapkan salah seorang pedagang yang enggan disebutkan namanya karena khawatir mengalami intimidasi.
Tim patroli86.com akan terus menelusuri dan mengungkap siapa di balik warung yang seolah kebal aturan ini, serta menunggu klarifikasi resmi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan instansi berwenang agar tidak muncul dugaan adanya oknum yang bermain di balik usaha ilegal di kawasan pelayanan publik tersebut.
Catatan Redaksi:
Laporan ini merupakan bagian dari investigasi lapangan tim jurnalis patroli86.com dalam rangka menjalankan fungsi pers sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, serta UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008).
(Ahmadi)












