JAKARTA – jejakhukum.net | Proses pendistribusian Liquified Petroleum Gas (LPG) subsidi yang kerap disebut gas melon sering kali menyalahi zonasi (wilayah) pendistribusian yang dilakukan oleh ‘oknum pengusaha’ yang tidak bertanggung jawab semakin marak terjadi, demi meraup keuntungan pribadi. Tindakan kecurangan dan penyimpangan yang terindikasi dilakukan dengan sengaja melalui jalur-jalur tikus (kamuflase) demi menghindari pantauan, serta tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan pada masyarakat.
Seperti halnya yang tak luput dari sorotan awak media, aksi nekat oknum disebuah Agen dan Pangkalan yang dengan terang-terangan melancarkan aksinya diduga bekerja sama untuk menjual gas keluar dari zonasi, hingga terpantau langsung oleh beberapa wartawan yang terjadi disebuah gudang gas dibawah naungan PT. Benteng Gas Bumi yang beralamat di Jalan Sungai Kendal, Marunda Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara pada, Sabtu (15/06/2024).
Sebuah mobil carry pick-up bernopol, B 9009 FUD membawa gas melon keluar wilayah menuju pangkalan yang terletak di Desa Segera Jaya, Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Ironisnya, saat dikonfirmasi, Fuad salah seorang penanggung jawab lapangan menyampaikan bahwa PT Benteng Gas Bumi beralamat di Muncang.
Fuad juga menyampaikan melalui pesan singkat whatsApp-nya akan melaporkan hal ini kepada alasannya. Kemudian lebih lanjut Fuad menyampaikan, “Silahkan ibu mengkonfirmasi ke ibu Tiwi,” ujarnya.
Lebih rinci Fuad menyampaikan bahwa PT Benteng Gas Bumi beralamat di Jalan Muncang Blok O Nomor 18, Kecamatan Koja, Jakarta-Utara, sementara yang terletak di Jalan Sungai Kendal adalah gudang.
Kemudian, atas saran Fuad, awak media kembali mengkonfirmasi kepada Tiwi selaku pengelola PT Benteng Gas Bumi, namun dirinya justru seperti emosional dan tidak kooperatif karena konfirmasi yang dilakukan melalui sambungan telepon selular tidak mendapatkan jawaban yang berarti karena dari awal Tiwi berbicara dengan intonasi yang tinggi dengan sebuah bentakan. “Apa salah kami,” hardiknya
Memang miris sekali penyimpangan yang telah dilakukan serta disaksikan langsung para wartawan justru ditepis dengan amarah, padahal awak media hanya meminta konfirmasi dan klarifikasi terkait hal tersebut.
Saat ini ketentuan pidana dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dkenal dengan istilah Omnibus Law, sehingga Pasal 55 berubah menjadi “Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas (LPG) yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp 60.000.000.000 (enam puluh miliar rupiah)”.
Bahwa mesti dipahami, dengan adanya regulasi dan pengaturan sanksi pidana dalam kegiatan penyalahgunaan pengangkutan dan/atau niaga liquefied petroleum gas (LPG) tersebut, diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan subsidi yang diberikan oleh pemerintah.
Akibat peristiwa yang ditemukan diatas, tentunya hal ini tidak sesuai dengan harapan karena masih ada saja para oknum-oknum pengusaha dan pedagang nakal yang dengan sengaja mendistribusikan gas subsidi ke wilayah Bekasi Kabupaten, atau bisa jadi sebaliknya. Sehingga berdampak langsung kepada pelaku usaha atau pangkalan yang sepi pembeli dikarenakan persaingan harga, penetapan harga di DKI Jakarta jauh lebih murah ketimbang wilayah Bekasi, pastinya terindikasi kuat demi keuntungan pribadi.(*/dok-ist./biro-jakut/attn:@red)