Cluster Grand Village Lahannya di Eksekusi, Puluhan Penghuni Warga Perwira BEKASI Utara ‘MENJERIT’

KOTA BEKASI | jejakhukum.net – Pengadilan Negeri (PN) Bekasi dengan didampingi Pejabat Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah berhasil melakukan pelaksanaan eksekusi pengosongan lahan seluas 376 meter persegi dan pemasangan pembatas dengan menggunakan seng alumunium meskipun tanpa dihadiri developer maupun pihak bank (kreditur) di Cluster Grand Village, Perwira Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi pada, Selasa (20/06/2023).

Pembacaan penetapan eksekusi dilakukan oleh jurusita pengadilan (PN Bekasi) yang disaksikan oleh pemohon eksekusi, Bambang, pihak Kepolisian Polres Metro Bekasi Kota, anggota Polsek Bekasi Utara, Personel Koramil Kodim 0507/Bks, Satpol PP, Lurah Perwira dan kuasa hukum (pengacara) pemohon eksekusi, Fernando Nababan, SH.

Ketua RW.07 Yunus Efendi, SH ketika memberikan keterangan kepada wartawan terkait proses pelaksanaan eksekusi pengosongan lahan seluas 376 meter persegi dan pemasangan pembatas dengan menggunakan seng alumunium di Cluster Grand Village, Perwira Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi pada, Selasa (20/06).dok-Zark/fwj.i-bekasi

Yunus Efendi, SH selaku Ketua RW.07 ketika menjawab pertanyaan wartawan mengatakan bahwa ia bersama warga cluster yang terdampak, yakni RT.10/RW.07 Kelurahan Perwira Kecamatan Bekasi Utara menyaksikan proses eksekusi yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Menyikapi pelaksanaan eksekusi yang dilakukan dilingkungan kami ini, cluster Grand Village saya selaku Ketua RW.07 menghimbau kepada warga terdampak untuk melakukan upaya-upaya hukum lainnya. Dimana warga kami ini membeli obyek perumahan/cluster ini melalui perbankan, yang semestinya pihak bank sudah melakukan verifikasi terlebih dahulu terhadap obyek (tanah) tersebut, apalagi berada didalam perumahan ada andil instansi terkait penerbitan siteplan dan sebagainya,” tutur Efendi.

Obyek yang dimaksud, lanjut Efendi, yang menjadi lahan fasos/fasum dan atau merupakan akses jalan warga ternyata itu merupakan milik orang lain atau pemohon eksekusi yang dilakukan hari ini. “Total rumah warga secara fisik yang sangat berdampak sekira 6 rumah permanen. Namun kalau bicara dampak lingkungan, ini ada bisa sampai 10 atau 11 warga/KK yang mengalami kerugian,” tutur Efendi.

“Informasi yang saya dapatkan, bahwa kondisi keberadaan developer tidak jelas keberadaannya. Akan tetapi perlu digaris-bawahi sesungguhnya warga dimana pun berada, warga tetap berjuang memperebutkan haknya dengan cara upaya-upaya hukum yang lainnya. Karena hari ini adalah tanggung jawab developer selaku pihak pengembang, membangun wilayah sini, dan yang lainnya,” tegasnya.

Berdasarkan pemilik lahan Leim Sian Tjie melalui kuasa hukumnya, Fernando Nababan yang dimohonkan melalui PN Bekasi atas keputusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkrah) sejak Tahun 2018. “Saya juga menunggu itikad baik pihak kreditur (pihak bank), ataupun developer untuk berdiskusi dan dialog (musyawarah) dengan warga kami (yang terdampak) supaya ada solusi penyelesaian. Karena mereka membeli secara baik dan patut, dan sudah seharusnya bank tidak melepas tanggung jawabnya selaku kreditur. Warga saya yang terdampak eksekusi secara hukum, pembeli yang beritikad baik harus dilindungi secara Undang-Undang,” imbuhnya.

Sementara itu, Kuanloi (Edy) seorang warga yang rumahnya bernomor B7 cluster tersebut di cluster tersebut terkena imbas, efek dari peristiwa eksekusi yang terjadi.

“Saya beli Rumah ini di Tahun 2013 dengan Status indent kepihak developer, dan di 2014 baru terjadi pelaksanaan akad melalui Bank DKI Syariah Cabang Cengkareng, artinya Saya melakukan proses pembelian ini dengan Cara yang benar dan sesuai aturan. Dan saat itu tidak terinfo jika terjadi sengketa, kalau tahu dari dulu, tentunya tak mungkin saya mau beli,” ucapnya.

Edy juga menjelaskan bahwa ia sangat menyesal telah menempati rumahnya dari tahun 2014, baru terinfo terjadi sengketa antara pihak developer dan pemilik tanah di tahun 2016 yang di mana tanah yang menjadi sengketa ada di wilayah depan teras dan jalan depan rumah saya,” papar Edy.

Kemudian di tahun 2018, lanjut Edy, diputuskan oleh Pengadilan Negeri (PN)/hakim bahwa sengketa tersebut di menangkan oleh pemilik tanah (Liem sian Tje). “Kemudian barulah di Eksekusi sita lahan-nya di tahun 2023 hari ini,” ulasnya.

“Sangat di sayangkan kami sebagian warga yang berdampak ini adalah pekerja swasta bekerja bertahun-tahun menabung nyicil buat beli rumah tapi harus berakhir seperti ini. Maka yang jadi pertanyaan kami bagaimana bisa pihak pihak pemerintah bekasi (PEMKOT, DISTARU, ATR/BPN) yang memberikan izin Pembangunan dan izin Lay out perumahannya jika diketahui itu merupakan lahan orang lain,” beber Edy.

“Bagaiman bisa pihak Bank memberikan ACC (Persetujuan) pencairan kreditnya. Apakah tanpa melalui prosedur survey? atau bagaimana?. Di sini kami warga yang menjadi korban, bagaimana tumbuh kembang anak kami, bagaimana kalau ada kejadian Incident dan perlu akses penanganan cepat. Apalagi rata-rata anak-anak kami masih di bawah umur 10 tahun. Saya hanya memohon untuk semua yg bertanggung jawab; dapat kiranya memberikan kami solusi,” pungkasnya.

Para warga korban terdampak eksekusi lahan di cluster Grand Village tersebut mengakui bahwa membeli rumah dengan cara yang benar dan prosedural, tentu juga mereka memohon perlindungan sebagai konsumen dan sebagai nasabah bank.(*/dok-hms/fwj.i/bks/ZARK)

Tinggalkan Balasan